Dukung Dan Sambut Pariwisata Aceh
Aceh merupakan salah satu propinsi paling ujung diwilayah Indonesia yang memiliki keanekaragaman dan
kekhassan yang merupakan bahagian dari sebuah jati diri bangsa.
Bencana dan gempa tsunami pada tahun 2006 tidak hanya meluluhlantakkan wilayah Aceh, juga telah menghancurkan sejumlah aset, potensi baik SDM, SDA maupun infrastruktur yang merupakan pendukung utama dalam pembangunan wilayah Aceh.
Hancurnya sejumlah potensi yang terkandung dalam bumi Aceh melalui sebuah musibah besar Bencana gempa dan stunami pada tahun 2004 secara signifikan akan ikut memberikan kostribusi stagnannya pembangunan wilayah-wilayah yang ada di Aceh secara menyeluruh. Artinya, sebuah proses kemunduran perkembangan pembangunan akan kembali terjadi di wilayah Aceh, jika para pengambil kebijakan wilayah tersebut tidak segera mengatasi permasalah ini secara lebih bijak dengan tetap mengedepankan prinsip keterbukaan dan non diskriminasi untuk mengembalikan wajah asli Aceh yang penuh dengan kemegahan dan peradaban yang telah diakui oleh dunia manapun.
Kondisi riil masyarakat Aceh yang sangat yang menjunjung tinggi nilai-nilai keIslaman, maka seyogyanya musibah yang telah merengut puluhan juta rakyat Aceh perlu menjadi kajian dan pembelajaran bersama untuk menuju kepada perubahan hidup yang lebih baik dengan bernafaskan nilai-nilai keIslaman. Musibah yang melanda Aceh pada umumnya dan Kota Banda Aceh khusunya tidak hanya menjadi renungan semata, justru yang lebih penting adalah bagaimana penanganan kongkrit yang harus dilakukan untuk bangkit dan keluar dari pengaruh musibah besar ini telah ikut memporak-porandakan pembangunan dan peradaban Aceh dalam berbagai bidang dalam dinamika kemanusiaan yang ada.
Sejarah telah
mencatat bahwa propinsi Aceh merupakan salah satu daerah destinasi
wisatawan di Indonesia. Aceh memiliki ragam wisata dan keunikan tersendiri
dibandingkan dengan propinsi lain. Keanekaragaman suku yang terdapat di Aceh
seperti: suku Gayo, suku Aneuk Jamee, suku Tamiang, suku Kluet, suku Alas, dan
suku Singkil merupakan keunikan serta kekhassan tersendiri dalam masyarakat
Aceh yang terpadu manis dalam sebuah khazanah Aceh. Potensi dan kekayaan alam
Aceh yang tidak boleh dinafikan eksistensinya dalam pembangunan
Aceh adalah: Taman laut di Pulau Rubiah Sabang, Kawasan Ekosistem Leuser di
Aceh Tenggara, Danau Laut Tawar di Aceh Tengah, Danau Paris di Singkil, serta
potensi alam lainnya yang juga memeiliki kekhassan tersendiri.
Kekayaan Aceh
lainnya yang sudah tercatat didunia adalah kekayaan Khazanah budaya Aceh yang
gemilang seperti: Gunongan, pintoe Khop, Masjid Raya Baiturrahman, Makam Sultan
Iskandar Muda dan kelurga Sultan/Sultanah Aceh, Makam raja-raja Pasai, Makam
Raja-Raja Peureulak, Makam Syeik Abdul Rauf Assingkili, Makam Laksama Keumala
Hayati, Benteng Inoeng Balee, Keurkhop, Indra Patra dan Legenda Aneuk
Rahmayang. Ditambah lagi motif kerajinan dan menu paganan khas Aceh serta serta
beragam seni dan budaya Aceh yang tercermin dari Sub Etnis Aceh yang menjadikan
Aceh sebagai sumber inspirasi dan daya tarik kunjungan wisata ke Aceh baik dari
Mancanegara dan juga wisatawan Nusantara. Beberapa objek sejarah juga hadir
dari sebuah musibah besar gempa dan Stunami Aceh pada tahun 2004. (Dahlan Sulaiman, DPD ASITA NAD)
Kota Banda
Aceh yang merupakan salah satu bahagian dari wilayah Aceh sekaligus
bersisian langsung dengan kota Propinsi juga memiliki kekayaan dan
potensi wilayah layak jual yang selama ini menjadi pendukung utama
pembangunan Peradaban Kota Banda Aceh. Kekayaan dan aset yang dimiliki
oleh Kota Banda Aceh tidak hanya diakui oleh masyarakat lokal Kota Banda Aceh,
tetapi diakui oleh propinsi Aceh dan juga masyarakat Indonesia lainnya yang
tersebar diseluruh wilayah dari sabang sampai Marauke.
Banda Aceh
salah satu kabupaten/kota yang berada di wilayah propinsi Aceh dan bersisian
langsung dengan ibu Kota Propinsi juga mengalami musibah dahsyat gempa dan
tsunami yang terjadi pada tahun 2004. Daerah dengan luas wilayah administratif
Kota Banda Aceh sebesar 61.359 Ha atau Kisaran 61.36 (Km2) dengan kepadatan
penduduk hasil rekap 18 November 2008 berjumlah 219.659 jiwa.
Jumlah kepadatan penduduk di Kota Banda Aceh dengan 9 (sembilan) Kecamatan, 17
(tujuh belas) Mukim, 70 (tujuh Puluh) Desa/gampong dan 20 (dua Puluh)
Kelurahan, jauh berkurang dibandingkan kepadatan penduduk sebelum musibah
bencana dan gempa tsunami yang terjadi pada bulan Desember tahun
2004 yang telah merenggut sekitar 50 ribu Jiwa masyarakat Aceh
diseluruh daerah. (BPS Kota Banda Aceh, 2009)
Sebagai
wilayah yang mengalami langsung dasyatnya musibah gempa dan tsunami, Banda Aceh
juga mendapatkan efeknya, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Gempa dan tsunami telah membuat wajah kota Banda Aceh menjadi suram yang
diikuti dengan hilangnya sejumlah aset dan potensi yang dimiliki oleh kota
Banda Aceh yang diterjang habis tanpa bekas oleh gelombang raksasa. Bahkan
potensi SDM yang menjadi bahagian penting dalam memberikan konstribusi
peradaban Kota Banda Aceh juga tak ketinggalan. Hanya nama mereka yang terukir
indah sebagai donatur ide dan pemikiran bagi proses perkembangan kota Banda
Aceh.
Mengembalikan wajah Aceh yang penuh kharismatik tidaklah mudah, butuh penaganan khusus dan mesti dilakukan secara komprehensif dengan memanfaatkan seluruh kekuatan yang ada. Mewujudkan hal tersebut, tidak hanya cukup dengan pemaparan wacana tanpa dibarengi dengan aksi nyata untuk mewujudkan idealisme tersebut. Tentu ini perlu analisa dan pemikiran bersama seluruh masyarakat Aceh, khusunya para pengambil kebijakan dalam pemerintahan. Penderitaan panjang pasca musibah ttunami harus menjadi pembelajaran bersama untuk bangkit dan berjuang meneruskan kehidupan ini kearah lebih baik. Ini sesuai dengan sebuah pernyataan Allah swt bahwa” Allah tidak akan merubah nasib sebuah kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan melakukan perubahannya” (Qs.Ar-Ra’du ayat 11). Penyataan Allah SWT ini juga berlaku bagi masyarakat kota Banda Aceh sebagai salah satu wilayah di propinsi Aceh.
Mengembalikan wajah Aceh yang penuh kharismatik tidaklah mudah, butuh penaganan khusus dan mesti dilakukan secara komprehensif dengan memanfaatkan seluruh kekuatan yang ada. Mewujudkan hal tersebut, tidak hanya cukup dengan pemaparan wacana tanpa dibarengi dengan aksi nyata untuk mewujudkan idealisme tersebut. Tentu ini perlu analisa dan pemikiran bersama seluruh masyarakat Aceh, khusunya para pengambil kebijakan dalam pemerintahan. Penderitaan panjang pasca musibah ttunami harus menjadi pembelajaran bersama untuk bangkit dan berjuang meneruskan kehidupan ini kearah lebih baik. Ini sesuai dengan sebuah pernyataan Allah swt bahwa” Allah tidak akan merubah nasib sebuah kaum, kecuali kaum itu sendiri yang akan melakukan perubahannya” (Qs.Ar-Ra’du ayat 11). Penyataan Allah SWT ini juga berlaku bagi masyarakat kota Banda Aceh sebagai salah satu wilayah di propinsi Aceh.
Perjuangan
mengembalikan wajah Aceh pada masa keemasannya tidak cukup diperjuangkan oleh
pemerintah, tetapi juga harus dibarengi dengan perjuangan yang sama di
masyarakat sebagai elemen pembangunan. Ini menjadi penting mengingat masyarakat
dan pemerintahan memiliki tanggungjawab yang sama untuk merumuskan misi
pembangunan kota Banda Aceh kedepan sebagai wilayah yang patut menjadi contoh
bagi wilayah lain. Seluruh masyarakat Kota Banda Aceh patut mentauladani
perjuangan para leluhur Aceh yang selalu menjadi kepentingan bersama sebagai sebuah
visi dan nilai yang harus diperjuangkan sampai akhir hayat. Nilai-nilai
tersebut juga harus menjadi modal kita dalam memperjuangkan pembangunan
diberbagai bidang yang hancur akaibat musibah gempa dan tsunami. Hal yang harus
dilakukan ulang adalah pemetaan terhadap aset dan kekayaan yang tersedia dalam
bumi Kota Banda Aceh, yang selanjutnya menjadi alat meningkatkan pembangunan
pasca bencana gempa bumi dan tsunami.
Pemerintah
Kota Banda Aceh yang mendapatkan amanah rakyat untuk mengembangkan tugas pembangunan
harus mengidentifikasi potensi-potensi yang tersedia di wilayah dan mampu
menggerakkan pembangunan dan juga roda ekonomi kerakyatan. Ini penting
dilakukan mengingat ekonomi menjadi hal yang paling esensial dalam pembangunan.
Partispasi masyarakat dalam pembangunan akan sangat dipenagruhi sejauhmana
pemerintah sebagai komponen paling bertanggungjawab bagi daerah mampu merespon
kebutuhan tersebut. Untuk itu, para pengambil kebijakan segera berpikir dan
mencari solusi terhadap permasalah tersebut.
Hadirnya
Undang-Undang No. 09 tahun 1990 tentang Kepariwisataan, telah membuka peluang
sekaligus tantangan bagi daerah-daerah yang memiliki potensi wisata untuk
mengembangkan obyek wisatanya sebagai sumber Devisa ( Keuntungan Ekonomi. (Dahlan Sulaiman Ketua DPD ASITA NAD)
Ini juga yang menjadi pintu masuk pemerintahan Kota Banda Aceh mengembalikan
kharisma Kota Banda Aceh yang penuh dengan kemegahan dan kekayaan yang
beranekaragam.
Hasilnya,
melalui analisa kritis, pemikiran yang matang serta perjuangan yang penuh
tantangan, akhirnya pemerintahan Kota Banda Aceh dibawah kepemimpinan Mawardi
Ismail dan Elliza Sa’aduddin Djamal memanfaatkan aturan ini sebagai motivasi
dan semangat mewujudkan wajah Baru Kota Banda Aceh sekaligus media peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui pemanfaatan potensi wilayah. Hasilnya pada
tahun 2010 dikeluarkan sebuah statmen yang menakjubkan sekaligus menjadi
tantangan besar pemerintahan Kota Banda Aceh tentang “Visit Banda Aceh Year 2011”.
Jika
dianalisa, keberanian ini bukan hanya untuk sekedar prestise wilayah, tetapi
karena Banda Aceh memang layak untuk menjadi wilayah kunjungan wisata. Berbagai
kekayaan yang dimiliki wilayah Kota Banda Aceh, termaksud budaya dan adat
istiadat patut untuk diperkenalkan kepada masyarakat luar sebagai bahagian dari
perkenalan jati diri daerah. Tentunya, promosi ini tidak akan berjalan sesuai
dengan cita-cita dan harapan jika hanya dilakukan oleh segelintir orang, tanpa
dukungan masyarakat Kota Banda Aceh secara menyeluruh. Untuk itu, sosialisasi “Visit
Banda Aceh Years 2011” harus dilakukan secara terencana dan berkesinambungan
kepada masyarakat, yang selanjutnya diharapkan akan melahirkan komitmen bersama
melanjutkan visi & misi tahun kunjungan wisata Kota Banda Aceh yang sudah
dicanangkan oleh pemerintahan Kota Banda Aceh 2011.
Kerjasama
pemerintah kota Banda Aceh dan masyarakat telah menunjukkan hasil yang
luarbiasa dengan mulai dirintisnya kota banda Aceh pada tahun 2010 sebagai
wilayah kunjungan wisata. Melalui gaung kunjungan wisata diharapkan banyak
perubahan dan peningkatan yang dapat terjadi di Kota Banda Aceh, tidak hanya
pada peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota Banda Aceh, sekaligus
peningkatan ekonomi dan kapasitas masyarakat yang akan mempengaruhi kualitas
kehidupan secara menyeluruh. Menghasilkan harapan tersebut diatas, kiranya
semua pihak perlu memikirkan strategi yang dapat dilakukan guna mewujudkan
idealisme tersebut, termaksud merumuskan alat pendukung kearah tersebut.
Potensi alam
yang menawarkan keindahan dan pesona, budaya dan adat istiadat Aceh yang
berdimensi spritualitas, kultur masyarakat yang humanis dan bukti-bukti sejarah
yang menawarkan arti sebuah perjuangan dan nilai yang patut menjadi bahagian
penting dalam “Visit Banda Aceh Years 2011". Semua masyarakat harus
memahami ini sebagai konsekwensi logis dalam mendukung kunjungan wisata Kota
Banda Aceh pada masa akan datang, sekaligus membangun visi dan persepsi bersama
dalam mendukung sekaligus mengembangkan kunjungan wisata ke Kota Banda Aceh.
Gema Visit
Banda Aceh Years 2011 yang sudah dimulai akhir tahun 2010 dibawah kepemimpinan
Mawardi Nurdin dan Elliza Saa’dudin Djamal dan dikampanyekan melalui berbagai
media indikator kesuksesannya sulit diukur. Banyak pihak yang mulai
mempertanyakan keberhasilan dan dampak luas “Visit Banda Aceh Years 2011”
bagi masyarakat khususnya Kota Banda Aceh. Salah satu keluhan dan pertanyaan
kritis pernah diajukan oleh Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI)
terhadap jumlah kunjungan wisatawan yang menurun drastis walaupum Visit Banda
Aceh Years sedang dilaksanakan oleh Dinas Pariwisata Kota Banda Aceh. Keluhan
PHRI dianggap menjadi salah satu acuan ketidakberhasilan dari kampanye Visit
Banda Aceh Years 201I yang digalakkan oleh Pemerintahan Kota Banda Aceh. (Sosial Media 2011).
Pernyataan
oleh Perhimpunan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI), senada dengan data yang
dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh bahwa kunjungan wisatawan
mancanegara turun 8.59%. Jumlah kedatangan wisatawan mancanegara yang
berkunjung kewilayah propinsi Aceh pada Juni 2011 dilaporkan hanya 1.160
orang, atau mengalami penurunan sebesar 8.59 % dibandingkan kunjungan bulan Mei
2011 yang mencapai 1.269 orang. (BPS Aceh
: 2011). Informasi data dari BPS harus
menjadi kajian bersama pemerintahan Kota Banda Aceh dan masyarakat dalam
mendukung Visit Banda Aceh Years 2011, dengan terus melakukan pembenahan
diberbagai sarana pendukungnya.
Keluhan PHRI
menunjukkan adanya kekecewaan dari pengelolan hotel dan restauran di Aceh
tentang menurunnya kunjungan wisata bertepatan dengan penetapan kota Banda Aceh
sebagai daerah kunjungan wisata 2011. Ini sangat ironis jika tidak disikapi
dengan pemetaan akar permasalahan penyebab menurunnya kunjungan wisata di Aceh
dan juga Kota Banda Aceh. Bahkan, antisipasi yang keliru dapat mendorong
stagnannya kegiatan Visit Banda Aceh Years 2011. Kajian ini perlu dilakukan
pada alat pendukung kunjungan wisata seperti promosi dan juga dukungan
masyarakat terhadap hal tersebut, karena kedua-duanya memiliki peran yang
sangat besar dalam kunjungan wisata Kota Banda Aceh 2011.
Kondisi menurunnya kunjungan wisatawan manca negara ke Kota Banda Aceh ikut
juga dipengaruhi oleh dukungan masyarakat secara menyeluruh yang akan mendorong
promosi-promosi yang dilakukan oleh masyarakat secara turun menurun.
Analisa menunjukkan bahwa ada hal yang perlu pembenahan secara komprehensif
berkaitan dengan moment Visit Banda Aceh Years 2011 sehingga mampu mengundang
turis Internasional, Nasional maupun lokal ke wilayah kota Banda Aceh.
Memulai
penataan ini maka harus didukung penuh oleh pemerintahan dan masyarakat secara
bersama-sama. Ini harus dimulai dengan persamaan persepsi dilevel masyarakat
yang dapat dimulai dengan sosialisasi tentang Visit Banda Aceh Year 2011 yang
dilakukan oleh pemerintahan melalui lembaga/dinas terkait. Tahapan ini harus
dilakukan secara berkelanjutan pada semua level masyarakat sehingga pandangan
masyarakat terhadap visit Banda Aceh Year yang digalakkan oleh pemerintahan
Kota Banda Aceh bukan hanya sekedar prestise kepemimpinan mereka, tetapi lebih
jauh lagi memberikan warna baru kota Banda Aceh pasca kebangkitan setelah
bencana gempa dan tsunami.
Perjuangan
di level pemerintahan harus dibarengi dengan perjuangan masyarakat sebagai
elemen penting pembangunan. Komitmen diatas tidak cukup hanya mengandalkan
potensi wilayah, sarana pendukung, adat dan budaya, tetapi yang tidak
kalah penting adalah dukungan seluruh masyarakat kota Banda Aceh guna
mewujudkan cita-cita mulia ini. Dukungan ini mesti lahir secara tulus dari
sanubari seluruh masyarakat Kota Banda Aceh.
0 comments:
Post a Comment